Senin, 23 April 2018

MAKALAH PENGOLAHAN BAHAN



MAKALAH PENGOLAHAN BAHAN PAKAN

Disusun Oleh :
Surya Eka Tabara ( A. 1510652



FAKULTAS PERTANIAN
JURUSAN PETERNAKAN
UNIVERSITAS DJUANDA
BOGOR 2016/2017



BAB I
PENDAHULUAN

1.1.Latar belakang

 Untuk mengembangkan populasi ternak ruminansia di Indonesia tidak mungkin lagi jika hanya mengandalkan sumber pakan rumput atau padang penggembalaan, mengingat lahan peruntukan tersebut semakin terbatas. Potensi sumber pakan alternatif untuk ruminansia sangat besar, khususnya sumber pakan serat yang berasal dari produk samping industri pertanian dan perkebunan. Pemanfaatan produk samping pertanian/perkebunan sebagai bahan pakan merupakan tindakan bijaksana dalam menciptakan ketahanan pakan berbasis sumber daya lokal dan membantu mengurangi pencemaran lingkungan. Pemanfaatan produk samping industri perkebunan membuka peluang untuk meningkatkan populasi ternak di sentra-sentra perkebunan dan meningkatkan produktivitas tanaman dengan terbangunnya sistem integrasi ternak-tanaman. Sebagai salah satu contoh adalah integrasi ternak dengan tanaman kakao/coklat.
 Produk samping tanaman kakao dalam hal ini kulit buah kakao (KBK) seringkali dibiarkan menumpuk di lahan kebun dengan tujuan mengembalikan bahan organik bagi lahan. Selama penguraian bahan organik maka terjadi pembusukan dan menimbulkan kelembaban di sekitar area perkebunan. Keadaan ini berdampak pada munculnya berbagai masalah pada tanaman dan buah kakao, WARTAZOA Vol. 24 No. 3 Th. 2014 Hlm. 151-159  .
  Produk samping tanaman kakao dalam hal ini kulit buah kakao (KBK) seringkali dibiarkan menumpuk di lahan kebun dengan tujuan mengembalikan bahan organik bagi lahan. Selama penguraian bahan organik maka terjadi pembusukan dan menimbulkan kelembaban di sekitar area perkebunan. Keadaan ini berdampak pada munculnya berbagai masalah pada tanaman dan buah kakao, seperti penyakit busuk buah yang disebabkan oleh cendawan Phytopthora palmivora (Butler) yang dapat berkembang dengan baik pada kondisi lembab tersebut. Cendawan penghasil mikotoksin dilaporkan dapat menjadi hama dan penyakit busuk buah pada tanaman kakao (Awuah & Frimpong 2003). Oleh karena itu, biomasa KBK sebaiknya dikeluarkan dari lokasi perkebunan agar tanaman kakao terhindar dari penyakit tersebut. Salah satu alternatif yang mungkin dilakukan adalah memanfaatkan KBK sebagai bahan pakan, sedangkan pengembalian bahan organik diberikan dalam bentuk pupuk kandang. Kulit buah kakao mempunyai komposisi gizi setara dengan komposisi gizi rumput sehingga biomasa KBK sangat potensial sebagai pakan alternatif untuk menggantikan rumput (Puastuti & Yulistiani 2011). Namun demikian, KBK memiliki kecernaan rendah serta adanya senyawa antinutrisi yang mempengaruhi ketersediaan nutriennya. Disamping itu, ketersediaan KBK hanya pada musim panen kakao. Pemanfaatan KBK untuk pakan ternak ruminansia belum diketahui secara luas oleh petani-peternak sehingga pemanfaatannya masih terbatas pada kalangan petani-peternak tertentu saja.
Pemanfaatan KBK sebagai pakan pengganti rumput ataupun pakan tambahan mampu mendukung produktivitas ternak ruminansia terutama kambing (Sianipar & Simanihuruk 2009; Puastuti et al. 2010; Suparjo et al. 2011). Penggunaan KBK segar sebagai pakan ternak dilakukan di wilayah sentra perkebunan kakao Kabupaten Lampung Timur dalam jumlah terbatas dan hanya dilakukan pada saat musim panen. Dalam kondisi segar, KBK tidak bisa disimpan dalam waktu yang lama karena kandungan airnya tinggi sehingga mudah membusuk dan berjamur. Oleh karena itu, diperlukan teknologi pengolahan yang tepat untuk penanganan dan meningkatkan kualitas nutriennya sebelum diberikan pada ternak.
Dalam makalah ini diuraikan potensi, kendala pemanfaatan, metode pengolahan dan pemanfaatan KBK sebagai pakan pada ternak ruminansia sehingga diharapkan dapat membuka peluang pengembangan populasi ternak ruminansia di wilayah sentra kakao.

1.2.Tujuan

-          Mencari pengganti pakan hijauan yang bertujuan sebagai sumber pakan utama.
-          Memanfaaatkan nutrisi yang terkandung di dalam tanaman kakao






BAB II
LANDASAN TEORI


2.1.Dasar teori

            Perkebunan coklat atau kakao di Indonesia sebagian besar dibudidayakan oleh rakyat, selain oleh swasta dan pemerintah. Penyebaran lokasi perkebunan kakao hampir di seluruh wilayah tanah air, kecuali DKI Jakarta. Wilayah sentra produksi kakao terdapat di Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara dan Sulawesi Barat. Perkebunan kakao menghasilkan produk utama biji kakao dan produk samping berupa KBK. Perbandingan antara bagian biji, kulit buah dan plasenta segar masing-masing adalah 24:74:2 (Haryati & Hardjosuwito 1984) atau setara dengan 50,8:47,2:2 dalam rasio bahan kering. Dengan mengetahui produksi biji kakao maka dapat diketahui potensi KBK yang dapat dimanfaatkan sebagai sumber pakan.
Perkembangan luas lahan, produksi dan produktivitas kakao Indonesia dari tahun 2008 hingga 2013 diilustrasikan dalam Gambar 1. Data Ditjenbun (2014) menunjukkan bahwa luas penanaman kakao dalam tiga tahun terakhir relatif konstan. Pada tahun 2013 luas lahan kakao tercatat 1.745.789 ha, dengan produksi biji kakao sebesar 938,8 ribu ton. Berdasarkan rasio biji kakao dengan KBK maka diketahui potensi bahan kering KBK sebesar 872,3 ribu ton/tahun. Bila dimanfaatkan sebagai sumber serat pengganti rumput (50% bahan kering dalam ransum) maka dapat memenuhi kebutuhan untuk 635.305 satuan ternak (1 ST = 250 kg bobot hidup) atau setara dengan 5.310.873 ekor ternak ruminansia kecil. Pemanfaatan KBK sebagai pakan sangat memungkinkan karena di area perkebunan kakao ketersediaan rumput sangat terbatas dan lahan di bawah tanaman kakao biasanya dijaga kebersihannya dari vegetasi/gulma. Dengan memanfaatkan KBK sebagai sumber serat dan hijauan dedaunan dari tanaman pelindung atau pakan tambahan lainnya maka dapat mencukupi kebutuhan untuk ternak.


Gambar 1. Perkembangan luas lahan perkebunan dan produksi kakao tahun 2008-2013 (Ditjenbun 2014)
Potensi pemanfaatan KBK sebagai pakan sangat besar baik dari kuantitas maupun kualitasnya. Biomasa KBK memiliki komposisi nutrien (Tabel 1) yang sebanding dan bahkan lebih baik dibandingkan dengan rumput Gajah yang memiliki komposisi 6,9% protein kasar; 67,09% serat deterjen netral (SDN) dan 47,16% serat deterjen asam (SDA) (Puastuti & Yulistiani 2011).
Komposisi tersebut menggambarkan bahwa KBK berpotensi untuk digunakan sebagai pakan sumber serat pengganti rumput dengan kandungan protein kasar 9,40% (6,80-13,78%), SDN 64,29% (55,30-73,90%) dan SDA 51,85% (38,31-58,98%). Selain sebagai pengganti rumput, bisa juga diberikan sebagai pakan tambahan setelah dilakukan pengolahan untuk meningkatkan kandungan nutriennya. Pemberian KBK segar memiliki palatabilitas tinggi karena adanya rasa dan aroma manis. Pengolahan KBK bermanfaat untuk meningkatkan ketersediaan nutriennya, kecernaan dan mengurangi senyawa antinutrisi dari KBK.







BAB III
PEMBAHASAN


3.1. PENGOLAHAN KULIT BUAH KAKAO SEBAGAI PAKAN

            Memperhatikan potensi, komposisi nutrien dan faktor pembatas pada KBK, maka diperlukan pengolahan untuk meningkatkan mutu KBK sebagai pakan, diantaranya meningkatkan kandungan nutrien, kecernaan dan menurunkan senyawa antinutrisi serta

Tabel 1. Komposisi kimia kulit buah kakao Sumber
BK
BO
PK
LK
SK
Energi
SDN
SDA
------------------------ % ---------------------------
kkal/kg
---------- % --------
Mucra (2005)
92,03
89,39
11,22
2,65
42,19
-
-
-
Mujnisa (2007)
87,28
87,16
13,78
0,98
41,45
-
71,05
50,77
Lateef et al. (2008)
-
88,70
8,20
4,70
18,30
-
-
-
Alemawor et al. (2009)
88,96
79,89
9,14
-
35,74
-
58,78
47,04
Sianipar & Simanihuruk (2009)
25,15
-
9,26
-
-
4.400
55,30
38,31
Suparjo et al. (2009)
48,17
93,93
-
-
-
-
63,15
58,14
Zain (2009)
-
81,20
9,07
-
-
-
73,90
58,98
Puastuti & Yulistiani (2011)
88,31
-
7,75
-
-
3.900
62,21
57,86
Adamafio (2013)
-
-
6,8-10
1,6-2,4
24-35
2.600
-
-

Tabel 2. Kandungan senyawa antinutrisi pada kulit buah kakao Uraian
Senyawa antinutrisi (%)
Lignin
Tanin
Theobromine
KBK1)
20,15
-
-
KBK amoniasi1)
16,09
-
-
KBK2)
-
-
0,42
KBK difermentasi dengan
Aspergillus niger2)
-
-
0,11
KBK3)
14,7
-
-
KBK4)
15-20
5,1
-
KBK + laccase4)
15-20
2,1
-
KBK5)
23,65
0,84
-
KBK6)
-
-
0,55
KBK7)
-
-
0,15-0,40







memperpanjang umur simpan. Pengolahan KBK sebagai pakan seperti halnya pengolahan produk samping tanaman lainnya dapat dilakukan secara fisik, kimiawi, biologis maupun kombinasinya.

3.1.1.Pengolahan secara fisik
Pengolahan secara fisik dapat dilakukan dengan cara mencacah untuk diberikan dalam keadaan segar. Pencacahan KBK dapat dilanjutkan dengan pengeringan dan penggilingan untuk menghasilkan tepung/mash KBK. Tepung KBK (kadar air <12%) memiliki daya simpan yang lebih lama dan memudahkan dalam penanganan. Pengolahan KBK menjadi bentuk tepung tidak merubah nilai nutrien maupun senyawa antinutrisinya. Adamafio et al. (2011) melakukan detheobromine KBK dan melaporkan bahwa tepung KBK yang disterilkan dengan autoclave pada suhu 121oC selama 15 menit tidak mengalami penurunan kandungan theobromine (hanya 0,45%) sedangkan 40 g tepung KBK tanpa disterilkan dan ditambah air steril 80 ml kemudian diinkubasi selama tujuh hari dalam tempat tertutup kandungan theobromine-nya turun hingga 54,7%.

3.1.2.Pengolahan secara kimiawi
Pengolahan secara kimiawi dengan penambahan senyawa alkali atau asam dapat menguraikan dan memutuskan ikatan lignin dengan selulosa atau hemiselulosa dan juga tanin dengan protein atau karbohidrat sehingga mempermudah penetrasi enzim dalam saluran pencernaan. Seperti perlakuan urea dapat meningkatkan degradasi jerami padi karena selulosa dan hemiselulosanya menjadi mudah untuk diakses oleh mikroba rumen (Shen et al. 1999). Pengolahan secara kimia mampu mengurangi kadar theobromine dari KBK, namun sulit diimplementasikan. Proses ini relatif mahal dan tidak dapat diadopsi oleh petani karena diperlukan penggunaan bahan kimia dan peralatan yang mahal. Oleh karena itu, diperlukan cara pengolahan yang sederhana, efektif dan terjangkau. Pengolahan KBK secara kimia sederhana dapat dilakukan dengan menggunakan urea. Urea sering digunakan untuk meningkatkan kecernaan pakan serat melalui proses amoniasi (Van Soest 2006). Melalui proses amoniasi, terjadi hidrolisis ikatan kompleks pada bahan pakan menjadi ikatan sederhana sehingga mempermudah penetrasi enzim pencernaan. Hasil penelitian pengolahan KBK dengan urea dapat meningkatkan kadar protein kasar dan kecernaan KBK (Tabel 3).

Tabel 3. Pengolahan KBK secara amoniasi sebagai pakan Uraian
Respon pengolahan
Amoniasi KBK + urea 1,5%1)
Meningkatkan kadar protein kasar dari 8,35% menjadi 9,58%
Amoniasi KBK + urea 6%2)
Meningkatkan kadar protein dari 9,07% menjadi 15,18%
Menurunkan kadar lignin dari 20,15% menjadi 16,09%
Amoniasi KBK + urea 6%3)
Meningkatkan kecernaan bahan kering dari 46,87% menjadi 52,80%
Sumber: 1)Laconi (2009); 2)Zain (2009); 3)Afrijon (2011)

Proses amoniasi dengan menggunakan urea lebih mudah, murah dan lebih aman dibandingkan dengan proses alkali lainnya dan dapat meningkatkan kadar N (nitrogen). Meningkatnya kadar N asal urea dapat mensuplai kebutuhan N bagi mikroba rumen. KBK amoniasi dapat diberikan pada ternak dalam keadaan segar atau dikeringkan dan dibuat tepung untuk selanjutnya diformulasi menjadi ransum komplit atau konsentrat. Penyimpanan KBK amoniasi dalam kondisi anaerob meningkatkan daya simpan KBK dan daya simpan dapat lebih ditingkatkan lagi setelah KBK amoniasi dibuat bentuk tepung.

3.1.3.Pengolahan secara mikrobiologis
Pengolahan secara mikrobiologi dilakukan melalui proses fermentasi dengan penambahan starter mikroba atau memanfaatkan mikroba indogenous dengan menambahkan imbuhan yang memacu pertumbuhannya. Fermentasi dapat menggunakan starter mikroba dari kapang, bakteri dan jamur. Penggunaan kapang sebagai fermentor dalam proses fermentasi KBK seperti Aspergillus niger (Saili et al. 2010), Rhizopus oligosporus dan Trichoderma reseei (Haryati & Sutikno 1994), Rhizopus stolonifer (Lateef et al. 2008), Phanerochaete chrysosporium (Suparjo et al. 2011) ternyata dapat meningkatkan nilai nutrient dan kecernaan serat KBK. Hal ini terjadi karena kapang dapat memproduksi enzim (selulase dan hemiselulase) yang memiliki aktivitas untuk menguraikan fraksi serat sehingga dapat memutuskan ikatan lignin dengan selulosa maupun hemiselulosa. Fraksi selulosa dan hemiselulosa dengan kerja enzim juga dapat terurai menjadi molekul karbohidrat sederhana dan gula, kemudian diubah menjadi volatile fatty acid (VFA).
Hasil penelitian pengolahan KBK secara fermentasi telah dilaporkan, untuk tujuan meningkatkan nutrien dan menurunkan senyawa antinutrisi sehingga dapat meningkatkan kecernaan KBK (Tabel 4).

Tabel 4. Pengolahan KBK secara fermentasi sebagai pakan Uraian
Respon pengolahan
Fermentasi KBK dengan P. chrysosporium1)
Menurunkan lignin dari 38,45% menjadi 26,67%
Fermentasi KBK dengan P. chrysosporium2)
Meningkatkan protein kasar dari 6,86 % menjadi 9,20%
Meningkatkan kecernaan bahan kering dari 39,2% menjadi 47,3%
Meningkatkan kecernaan bahan organik dari 41,7% menjadi 45,9%
Menurunkan NDF dari 76,8% menjadi 69,4%
Menurunkan selulosa dari 33,1% menjadi 32,4%
Menurunkan hemiselulosa dari 19,5% menjadi13,8%
Fermentasi KBK dengan A. niger3)
Menurunkan kadar theobromine hingga 71,8% (4,2% menjadi 1,1%)
Fermentasi KBK dengan A. niger4)
Meningkatkan kadar PK dari 7,81% menjadi 13,56%
Fermentasi KBK dengan A. niger5)
Menurunkan kadar serat kasar hingga 51,48%
Meningkatkan kadar protein sebesar 78,67%
Meningkatkan kecernaan total dari bahan kering dari 52,37% menjadi 60,3 %
Fermentasi KBK dengan A. niger6)
Meningkatkan kecernaan bahan kering sebesar 10% (dari 22% menjadi 24,39%)

Sumber: 1)Suparjo et al. (2011); 2)Syahrir et al. (2013); 3)Adamafio et al. (2011); 4)Saili et al. (2010); 5)Indariyanti & Rakhmawati (2013); 6)Hardana et al. (2013)

Beberapa mikroorganisme mampu mendegradasi senyawa yang berkaitan dengan methylxantine dan caffeine. Hal ini menunjukkan bahwa mikroba memungkinkan dapat mendegradasi theobromine pada KBK melalui proses fermentasi (Gokulakrishnan et al. 2007; Adamafio et al. 2011). Fermentasi KBK selama delapan hari oleh A. niger menurunkan theobromine secara signifikan dibandingkan dengan KBK tanpa starter mikroba. Berdasarkan penelitian tersebut, diketahui bahwa mikroba A. niger mampu mendegradasi theobromine (Adamafio et al. 2011). Pemberian KBK fermentasi biasanya diberikan dalam bentuk tepung/mash. KBK fermentasi yang sudah dibuat mash memiliki daya simpan lama. Produk KBK fermentasi jika ditinjau dari kandungan nutriennya dapat menjadi bahan pakan penyusun konsentrat. Metode pengolahan KBK secara fermentasi sebenarnya sangat sederhana. Agar dapat berkembang di tingkat peternak perlu adanya pelatihan dan diseminasi metode pembuatannya, dimulai dari penyediaan starter mikroba untuk dapat diperbanyak sendiri hingga prosedur fermentasi.
Pengolahan KBK fermentasi tanpa starter mikroba, dapat dilakukan dengan imbuhan sumber energi sebagai stimulator mikroba indigenous dari bahan yang difermentasi, dikenal dengan proses silase. Pada proses silase, mikroba yang berperan adalah bakeri asam laktat yang mampu mempertahankan kualitas bahan dan meningkatkan daya simpan karena kondisi asam yang dihasilkan oleh mikroba indigenous.


3.2. RESPON PENGGUNAAN KULIT BUAH KAKAO SEBAGAI PAKAN PADA TERNAK RUMINANSIA

          Pemanfaatan KBK sebagai pakan dapat menggantikan rumput atau diberikan bersama-sama dengan rumput. Respon pemberian pakan KBK pada berbagai ternak dilaporkan bervariasi yang dipengaruhi oleh besarnya proporsi dalam ransum, bentuk pemberian, metode pengolahan dan jenis ternak. Ternak yang diberi pakan KBK masih memerlukan pakan tambahan untuk mencukupi kebutuhan produksi.
            Ternak yang diberi KBK segar yang dicacah (protein kasar sekitar 7%), tepung KBK atau silase KBK perlu diberi pakan tambahan berupa hijauan atau konsentrat. Dilaporkan bahwa penggunaan KBK pada domba dan kambing menurunkan konsumsi bahan kering dan menghasilkan penurunan pertambahan bobot hidup karena adanya antinutrisi theobromine (Alexander et al. 2008). Sebaliknya hasil pengamatan di lapang menunjukkan bahwa pemberian KBK segar pada kambing dilaporkan tidak menimbulkan efek yang negatif dan sudah berlangsung lama. Seperti pernyataan Priyanto et al. (2004) pada sistem integrasi kakao-kambing di Provinsi Lampung menunjukkan.


Tabel 5. Respon pemanfaatan KBK sebagai pakan terhadap pertambahan bobot hidup
 


bahwa pemberian kulit buah kakao segar yang dicacah sebanyak 2-3 kg/hari pada kambing dewasa mampu menghemat tenaga kerja penyedia hijauan rumput sebesar 50%. Beberapa hasil penelitian pemanfaatan KBK sebagai pakan pada ternak disajikan pada Tabel 5.  Pemanfaatan KBK tanpa diolah memberikan respon yang relatif baik, namun akan lebih tinggi responnya bila KBK diberikan setelah diolah.
Pemberian ransum mengandung KBK fermentasi dalam bentuk tepung tidak berbeda tingkat konsumsinya karena tidak ada pengaruh terhadap palatabilitasnya (Murni et al. 2012), sebagaimana pernyataan Devendra & Leng (2011) bahwa jumlah konsumsi ransum tergantung pada palatabilitas, karakteristik fisik dan defisiensi asam amino esensial kritis serta protein kasar. Hasil pengolahan KBK dengan starter mikroba melalui fermentasi menghasilkan kualitas nutrien yang lebih baik terutama kadar proteinnya sehingga lebih mampu menghasilkan performans yang lebih baik pula (Suparjo et al. 2011; Murni et al. 2012). Selanjutnya penggunaan KBK dengan penambahan suplemen dan aditif mampu. meningkatkan performans ternak yang tercermin dari pertambahan bobot hidup hariannya (Puastuti et al. 2010).




BAB IV
KESIMPULAN

         Ketersediaan KBK pada musim panen sangat banyak dan mampu memenuhi kebutuhan untuk 635.305 satuan ternak. Besarnya potensi KBK sebagai pakan diperlukan pengolahan dengan tujuan untuk meningkatkan nilai nutrien dan kecernaan, mengurangi efek negatif dari senyawa antinutrisi, meningkatkan performans ternak dan memperpanjang masa simpan. Bermacam-macam pengolahan baik fisik, kimiawi dan mikrobiologis, masing-masing memiliki kelebihan dan kekurangan. Pemberian pakan yang mengandung KBK pada ternak memiliki respon yang positif, namun demikian responnya bervariasi tergantung pada metode pengolahan dan jumlah yang diberikan maupun jenis ternak. Pemanfaatan KBK sebagai pakan diharapkan dapat dijadikan sebagai stok bahan pakan dan mengatasi kekurangan pakan hijauan terutama di musim kemarau dan dapat meningkatkan pengembangan populasi ternak ruminansia khususnya di sentra perkebunan kakao.






DAFTAR PUSTAKA



Adamafio NA, Ayombil F, Tano-Debrah K. 2011. Microbial detheobromination of cocoa (Theobroma cacao) pod husk. Asian J Biochem. 6:200-207.

Adamafio NA. 2013. Theobromine toxicity and remediation of cocoa by-product: an overview. J Biol Sci. 13:570-576.

Afrijon. 2011. Pengaruh pemakaian urea dalam amoniasi kulit buah coklat terhadap kecernaan bahan kering dan bahan organik secara in-vitro. J Embrio. 4:1-5.

Aji DP, Sri U, Suparwi. 2013. Fermentasi kulit buah kakao (Theobroma cacao L.) menggunakan Aspergillus niger pengaruhnya terhadap kadar VFA dan N-NH3 secara in-vitro. J Ilmu Peternakan. 1:774-780.

Alemawor F, Dzogbefia V, Oddoye E, Oldham J. 2009. Enzyme cocktail for enhancing poultry utilisation of cocoa pod husk. Sci Res Essay. 4:555-559.

Alexander J, Benford D, Cockburn A, Cravedi J, Dogliotti E, Domenico A Di, Férnandez-cruz ML, Fürst P, Fink-gremmels J, Galli CL, et al. 2008. 

Theobromine as undesirable substances in animal feed 1 Scientific opinion of the panel on contaminants in the food chain adopted on 10 June 2008. EFSA J. 725:1-66.

Awuah RT, Frimpong M. 2003. Cocoa-based media for culturing Phytophthora palmivora (Butl.) Butl., causal agent of black pod disease of cocoa. Mycopathologia. 155:143-147.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar