MAKALAH PENGOLAHAN BAHAN PAKAN
Disusun Oleh :
Surya Eka Tabara ( A.
1510652
FAKULTAS PERTANIAN
JURUSAN PETERNAKAN
UNIVERSITAS DJUANDA
BOGOR 2016/2017
BAB I
PENDAHULUAN
1.1.Latar
belakang
Untuk mengembangkan populasi ternak ruminansia
di Indonesia tidak mungkin lagi jika hanya mengandalkan sumber pakan rumput
atau padang penggembalaan, mengingat lahan peruntukan tersebut semakin
terbatas. Potensi sumber pakan alternatif untuk ruminansia sangat besar,
khususnya sumber pakan serat yang berasal dari produk samping industri
pertanian dan perkebunan. Pemanfaatan produk samping pertanian/perkebunan
sebagai bahan pakan merupakan tindakan bijaksana dalam menciptakan ketahanan
pakan berbasis sumber daya lokal dan membantu mengurangi pencemaran lingkungan.
Pemanfaatan produk samping industri perkebunan membuka peluang untuk
meningkatkan populasi ternak di sentra-sentra perkebunan dan meningkatkan
produktivitas tanaman dengan terbangunnya sistem integrasi ternak-tanaman.
Sebagai salah satu contoh adalah integrasi ternak dengan tanaman kakao/coklat.
Produk samping tanaman kakao dalam hal ini
kulit buah kakao (KBK) seringkali dibiarkan menumpuk di lahan kebun dengan
tujuan mengembalikan bahan organik bagi lahan. Selama penguraian bahan organik
maka terjadi pembusukan dan menimbulkan kelembaban di sekitar area perkebunan.
Keadaan ini berdampak pada munculnya berbagai masalah pada tanaman dan buah
kakao, WARTAZOA Vol. 24 No. 3 Th. 2014 Hlm. 151-159 .
Produk samping tanaman kakao
dalam hal ini kulit buah kakao (KBK) seringkali dibiarkan menumpuk di lahan
kebun dengan tujuan mengembalikan bahan organik bagi lahan. Selama penguraian
bahan organik maka terjadi pembusukan dan menimbulkan kelembaban di sekitar
area perkebunan. Keadaan ini berdampak pada munculnya berbagai masalah pada
tanaman dan buah kakao, seperti penyakit busuk buah yang disebabkan oleh
cendawan Phytopthora palmivora (Butler) yang dapat berkembang dengan
baik pada kondisi lembab tersebut. Cendawan penghasil mikotoksin dilaporkan
dapat menjadi hama dan penyakit busuk buah pada tanaman kakao (Awuah &
Frimpong 2003). Oleh karena itu, biomasa KBK sebaiknya dikeluarkan dari lokasi
perkebunan agar tanaman kakao terhindar dari penyakit tersebut. Salah satu
alternatif yang mungkin dilakukan adalah memanfaatkan KBK sebagai bahan pakan,
sedangkan pengembalian bahan organik diberikan dalam bentuk pupuk kandang.
Kulit buah kakao mempunyai komposisi gizi setara dengan komposisi gizi rumput
sehingga biomasa KBK sangat potensial sebagai pakan alternatif untuk
menggantikan rumput (Puastuti & Yulistiani 2011). Namun demikian, KBK
memiliki kecernaan rendah serta adanya senyawa antinutrisi yang mempengaruhi
ketersediaan nutriennya. Disamping itu, ketersediaan KBK hanya pada musim panen
kakao. Pemanfaatan KBK untuk pakan ternak ruminansia belum diketahui secara
luas oleh petani-peternak sehingga pemanfaatannya masih terbatas pada kalangan
petani-peternak tertentu saja.
Pemanfaatan
KBK sebagai pakan pengganti rumput ataupun pakan tambahan mampu mendukung
produktivitas ternak ruminansia terutama kambing (Sianipar & Simanihuruk
2009; Puastuti et al. 2010; Suparjo et al. 2011). Penggunaan KBK segar sebagai
pakan ternak dilakukan di wilayah sentra perkebunan kakao Kabupaten Lampung
Timur dalam jumlah terbatas dan hanya dilakukan pada saat musim panen. Dalam
kondisi segar, KBK tidak bisa disimpan dalam waktu yang lama karena kandungan
airnya tinggi sehingga mudah membusuk dan berjamur. Oleh karena itu, diperlukan
teknologi pengolahan yang tepat untuk penanganan dan meningkatkan kualitas
nutriennya sebelum diberikan pada ternak.
Dalam
makalah ini diuraikan potensi, kendala pemanfaatan, metode pengolahan dan
pemanfaatan KBK sebagai pakan pada ternak ruminansia sehingga diharapkan dapat
membuka peluang pengembangan populasi ternak ruminansia di wilayah sentra
kakao.
1.2.Tujuan
-
Mencari pengganti pakan hijauan
yang bertujuan sebagai sumber pakan utama.
-
Memanfaaatkan nutrisi yang
terkandung di dalam tanaman kakao
BAB II
LANDASAN TEORI
2.1.Dasar teori
Perkebunan
coklat atau kakao di Indonesia sebagian besar dibudidayakan oleh rakyat, selain
oleh swasta dan pemerintah. Penyebaran lokasi perkebunan kakao hampir di
seluruh wilayah tanah air, kecuali DKI Jakarta. Wilayah sentra produksi kakao
terdapat di Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara dan Sulawesi
Barat. Perkebunan kakao menghasilkan produk utama biji kakao dan produk samping
berupa KBK. Perbandingan antara bagian biji, kulit buah dan plasenta segar
masing-masing adalah 24:74:2 (Haryati & Hardjosuwito 1984) atau setara
dengan 50,8:47,2:2 dalam rasio bahan kering. Dengan mengetahui produksi biji
kakao maka dapat diketahui potensi KBK yang dapat dimanfaatkan sebagai sumber
pakan.
Perkembangan luas
lahan, produksi dan produktivitas kakao Indonesia dari tahun 2008 hingga 2013
diilustrasikan dalam Gambar 1. Data Ditjenbun (2014) menunjukkan bahwa luas
penanaman kakao dalam tiga tahun terakhir relatif konstan. Pada tahun 2013 luas
lahan kakao tercatat 1.745.789 ha, dengan produksi biji kakao sebesar 938,8
ribu ton. Berdasarkan rasio biji kakao dengan KBK maka diketahui potensi bahan
kering KBK sebesar 872,3 ribu ton/tahun. Bila dimanfaatkan sebagai sumber serat
pengganti rumput (50% bahan kering dalam ransum) maka dapat memenuhi kebutuhan
untuk 635.305 satuan ternak (1 ST = 250 kg bobot hidup) atau setara dengan
5.310.873 ekor ternak ruminansia kecil. Pemanfaatan KBK sebagai pakan sangat
memungkinkan karena di area perkebunan kakao ketersediaan rumput sangat
terbatas dan lahan di bawah tanaman kakao biasanya dijaga kebersihannya dari
vegetasi/gulma. Dengan memanfaatkan KBK sebagai sumber serat dan hijauan
dedaunan dari tanaman pelindung atau pakan tambahan lainnya maka dapat
mencukupi kebutuhan untuk ternak.
Gambar 1. Perkembangan luas lahan perkebunan dan produksi kakao tahun 2008-2013
(Ditjenbun 2014)
Potensi pemanfaatan
KBK sebagai pakan sangat besar baik dari kuantitas maupun kualitasnya. Biomasa
KBK memiliki komposisi nutrien (Tabel 1) yang sebanding dan bahkan lebih baik
dibandingkan dengan rumput Gajah yang memiliki komposisi 6,9% protein kasar; 67,09%
serat deterjen netral (SDN) dan 47,16% serat deterjen asam (SDA) (Puastuti
& Yulistiani 2011).
Komposisi tersebut
menggambarkan bahwa KBK berpotensi untuk digunakan sebagai pakan sumber serat
pengganti rumput dengan kandungan protein kasar 9,40% (6,80-13,78%), SDN 64,29%
(55,30-73,90%) dan SDA 51,85% (38,31-58,98%). Selain sebagai pengganti rumput,
bisa juga diberikan sebagai pakan tambahan setelah dilakukan pengolahan untuk
meningkatkan kandungan nutriennya. Pemberian KBK segar memiliki palatabilitas
tinggi karena adanya rasa dan aroma manis. Pengolahan KBK bermanfaat untuk
meningkatkan ketersediaan nutriennya, kecernaan dan mengurangi senyawa
antinutrisi dari KBK.
BAB III
PEMBAHASAN
3.1. PENGOLAHAN
KULIT BUAH KAKAO SEBAGAI PAKAN
Memperhatikan
potensi, komposisi nutrien dan faktor pembatas pada KBK, maka diperlukan
pengolahan untuk meningkatkan mutu KBK sebagai pakan, diantaranya meningkatkan
kandungan nutrien, kecernaan dan menurunkan senyawa antinutrisi serta
Tabel 1. Komposisi kimia kulit buah kakao
Sumber
|
BK
|
BO
|
PK
|
LK
|
SK
|
Energi
|
SDN
|
SDA
|
------------------------ % ---------------------------
|
kkal/kg
|
---------- % --------
|
Mucra
(2005)
|
92,03
|
89,39
|
11,22
|
2,65
|
42,19
|
-
|
-
|
-
|
Mujnisa (2007)
|
87,28
|
87,16
|
13,78
|
0,98
|
41,45
|
-
|
71,05
|
50,77
|
Lateef
et al. (2008)
|
-
|
88,70
|
8,20
|
4,70
|
18,30
|
-
|
-
|
-
|
Alemawor et al. (2009)
|
88,96
|
79,89
|
9,14
|
-
|
35,74
|
-
|
58,78
|
47,04
|
Sianipar
& Simanihuruk (2009)
|
25,15
|
-
|
9,26
|
-
|
-
|
4.400
|
55,30
|
38,31
|
Suparjo et al. (2009)
|
48,17
|
93,93
|
-
|
-
|
-
|
-
|
63,15
|
58,14
|
Zain
(2009)
|
-
|
81,20
|
9,07
|
-
|
-
|
-
|
73,90
|
58,98
|
Puastuti & Yulistiani (2011)
|
88,31
|
-
|
7,75
|
-
|
-
|
3.900
|
62,21
|
57,86
|
Adamafio
(2013)
|
-
|
-
|
6,8-10
|
1,6-2,4
|
24-35
|
2.600
|
-
|
-
|
|
Tabel 2. Kandungan senyawa antinutrisi
pada kulit buah kakao Uraian
|
Senyawa
antinutrisi (%)
|
Lignin
|
Tanin
|
Theobromine
|
KBK1)
|
20,15
|
-
|
-
|
KBK amoniasi1)
|
16,09
|
-
|
-
|
KBK2)
|
-
|
-
|
0,42
|
KBK difermentasi dengan
|
Aspergillus niger2)
|
-
|
-
|
0,11
|
KBK3)
|
14,7
|
-
|
-
|
KBK4)
|
15-20
|
5,1
|
-
|
KBK + laccase4)
|
15-20
|
2,1
|
-
|
KBK5)
|
23,65
|
0,84
|
-
|
KBK6)
|
-
|
-
|
0,55
|
KBK7)
|
-
|
-
|
0,15-0,40
|
|
|
|
|
|
|
|
memperpanjang umur
simpan. Pengolahan KBK sebagai pakan seperti halnya pengolahan produk samping
tanaman lainnya dapat dilakukan secara fisik, kimiawi, biologis maupun
kombinasinya.
3.1.1.Pengolahan
secara fisik
Pengolahan
secara fisik dapat dilakukan dengan cara mencacah untuk diberikan dalam keadaan
segar. Pencacahan KBK dapat dilanjutkan dengan pengeringan dan penggilingan
untuk menghasilkan tepung/mash KBK. Tepung KBK (kadar air <12%)
memiliki daya simpan yang lebih lama dan memudahkan dalam penanganan.
Pengolahan KBK menjadi bentuk tepung tidak merubah nilai nutrien maupun senyawa
antinutrisinya. Adamafio et al. (2011) melakukan detheobromine KBK dan
melaporkan bahwa tepung KBK yang disterilkan dengan autoclave pada suhu
121oC selama 15 menit tidak mengalami penurunan kandungan theobromine (hanya
0,45%) sedangkan 40 g tepung KBK tanpa disterilkan dan ditambah air steril 80
ml kemudian diinkubasi selama tujuh hari dalam tempat tertutup kandungan theobromine-nya
turun hingga 54,7%.
3.1.2.Pengolahan
secara kimiawi
Pengolahan
secara kimiawi dengan penambahan senyawa alkali atau asam dapat menguraikan dan
memutuskan ikatan lignin dengan selulosa atau hemiselulosa dan juga tanin
dengan protein atau karbohidrat sehingga mempermudah penetrasi enzim dalam
saluran pencernaan. Seperti perlakuan urea dapat meningkatkan degradasi jerami
padi karena selulosa dan hemiselulosanya menjadi mudah untuk diakses oleh
mikroba rumen (Shen et al. 1999). Pengolahan secara kimia mampu mengurangi
kadar theobromine dari KBK, namun sulit diimplementasikan. Proses ini
relatif mahal dan tidak dapat diadopsi oleh petani karena diperlukan penggunaan
bahan kimia dan peralatan yang mahal. Oleh karena itu, diperlukan cara
pengolahan yang sederhana, efektif dan terjangkau. Pengolahan KBK secara kimia
sederhana dapat dilakukan dengan menggunakan urea. Urea sering digunakan untuk
meningkatkan kecernaan pakan serat melalui proses amoniasi (Van Soest 2006).
Melalui proses amoniasi, terjadi hidrolisis ikatan kompleks pada bahan pakan
menjadi ikatan sederhana sehingga mempermudah penetrasi enzim pencernaan. Hasil
penelitian pengolahan KBK dengan urea dapat meningkatkan kadar protein kasar
dan kecernaan KBK (Tabel 3).
Tabel 3. Pengolahan KBK secara amoniasi
sebagai pakan Uraian
|
Respon
pengolahan
|
Amoniasi
KBK + urea 1,5%1)
|
Meningkatkan
kadar protein kasar dari 8,35% menjadi 9,58%
|
Amoniasi
KBK + urea 6%2)
|
Meningkatkan
kadar protein dari 9,07% menjadi 15,18%
Menurunkan
kadar lignin dari 20,15% menjadi 16,09%
|
Amoniasi
KBK + urea 6%3)
|
Meningkatkan
kecernaan bahan kering dari 46,87% menjadi 52,80%
|
|
Sumber: 1)Laconi (2009); 2)Zain (2009); 3)Afrijon (2011)
Proses amoniasi
dengan menggunakan urea lebih mudah, murah dan lebih aman dibandingkan dengan
proses alkali lainnya dan dapat meningkatkan kadar N (nitrogen). Meningkatnya
kadar N asal urea dapat mensuplai kebutuhan N bagi mikroba rumen. KBK amoniasi
dapat diberikan pada ternak dalam keadaan segar atau dikeringkan dan dibuat
tepung untuk selanjutnya diformulasi menjadi ransum komplit atau konsentrat.
Penyimpanan KBK amoniasi dalam kondisi anaerob meningkatkan daya simpan KBK dan
daya simpan dapat lebih ditingkatkan lagi setelah KBK amoniasi dibuat bentuk
tepung.
3.1.3.Pengolahan
secara mikrobiologis
Pengolahan
secara mikrobiologi dilakukan melalui proses fermentasi dengan penambahan starter
mikroba atau memanfaatkan mikroba indogenous dengan menambahkan imbuhan
yang memacu pertumbuhannya. Fermentasi dapat menggunakan starter mikroba
dari kapang, bakteri dan jamur. Penggunaan kapang sebagai fermentor dalam
proses fermentasi KBK seperti Aspergillus niger (Saili et al. 2010), Rhizopus
oligosporus dan Trichoderma reseei (Haryati & Sutikno 1994),
Rhizopus stolonifer (Lateef et al. 2008), Phanerochaete chrysosporium (Suparjo
et al. 2011) ternyata dapat meningkatkan nilai nutrient dan kecernaan serat
KBK. Hal ini terjadi karena kapang dapat memproduksi enzim (selulase dan
hemiselulase) yang memiliki aktivitas untuk menguraikan fraksi serat sehingga
dapat memutuskan ikatan lignin dengan selulosa maupun hemiselulosa. Fraksi
selulosa dan hemiselulosa dengan kerja enzim juga dapat terurai menjadi molekul
karbohidrat sederhana dan gula, kemudian diubah menjadi volatile fatty acid (VFA).
Hasil
penelitian pengolahan KBK secara fermentasi telah dilaporkan, untuk tujuan
meningkatkan nutrien dan menurunkan senyawa antinutrisi sehingga dapat
meningkatkan kecernaan KBK (Tabel 4).
Tabel 4. Pengolahan KBK secara fermentasi
sebagai pakan Uraian
|
Respon
pengolahan
|
Fermentasi
KBK dengan P. chrysosporium1)
|
Menurunkan
lignin dari 38,45% menjadi 26,67%
|
Fermentasi
KBK dengan P. chrysosporium2)
|
Meningkatkan
protein kasar dari 6,86 % menjadi 9,20%
Meningkatkan
kecernaan bahan kering dari 39,2% menjadi 47,3%
Meningkatkan
kecernaan bahan organik dari 41,7% menjadi 45,9%
Menurunkan
NDF dari 76,8% menjadi 69,4%
Menurunkan
selulosa dari 33,1% menjadi 32,4%
Menurunkan
hemiselulosa dari 19,5% menjadi13,8%
|
Fermentasi
KBK dengan A. niger3)
|
Menurunkan
kadar theobromine hingga 71,8% (4,2% menjadi 1,1%)
|
Fermentasi
KBK dengan A. niger4)
|
Meningkatkan
kadar PK dari 7,81% menjadi 13,56%
|
Fermentasi
KBK dengan A. niger5)
|
Menurunkan
kadar serat kasar hingga 51,48%
Meningkatkan
kadar protein sebesar 78,67%
Meningkatkan
kecernaan total dari bahan kering dari 52,37% menjadi 60,3 %
|
Fermentasi
KBK dengan A. niger6)
|
Meningkatkan
kecernaan bahan kering sebesar 10% (dari 22% menjadi 24,39%)
|
Sumber: 1)Suparjo et al. (2011); 2)Syahrir et al. (2013); 3)Adamafio et al.
(2011); 4)Saili et al. (2010); 5)Indariyanti & Rakhmawati (2013); 6)Hardana
et al. (2013)
Beberapa mikroorganisme
mampu mendegradasi senyawa yang berkaitan dengan methylxantine dan caffeine.
Hal ini menunjukkan bahwa mikroba memungkinkan dapat mendegradasi theobromine
pada KBK melalui proses fermentasi (Gokulakrishnan et al. 2007; Adamafio et
al. 2011). Fermentasi KBK selama delapan hari oleh A. niger menurunkan theobromine
secara signifikan dibandingkan dengan KBK tanpa starter mikroba.
Berdasarkan penelitian tersebut, diketahui bahwa mikroba A. niger mampu
mendegradasi theobromine (Adamafio et al. 2011). Pemberian KBK
fermentasi biasanya diberikan dalam bentuk tepung/mash. KBK fermentasi
yang sudah dibuat mash memiliki daya simpan lama. Produk KBK fermentasi
jika ditinjau dari kandungan nutriennya dapat menjadi bahan pakan penyusun
konsentrat. Metode pengolahan KBK secara fermentasi sebenarnya sangat
sederhana. Agar dapat berkembang di tingkat peternak perlu adanya pelatihan dan
diseminasi metode pembuatannya, dimulai dari penyediaan starter mikroba
untuk dapat diperbanyak sendiri hingga prosedur fermentasi.
Pengolahan KBK
fermentasi tanpa starter mikroba, dapat dilakukan dengan imbuhan sumber
energi sebagai stimulator mikroba indigenous dari bahan yang
difermentasi, dikenal dengan proses silase. Pada proses silase, mikroba yang
berperan adalah bakeri asam laktat yang mampu mempertahankan kualitas bahan dan
meningkatkan daya simpan karena kondisi asam yang dihasilkan oleh mikroba indigenous.
3.2. RESPON
PENGGUNAAN KULIT BUAH KAKAO SEBAGAI PAKAN PADA TERNAK RUMINANSIA
Pemanfaatan KBK sebagai pakan dapat
menggantikan rumput atau diberikan bersama-sama dengan rumput. Respon pemberian
pakan KBK pada berbagai ternak dilaporkan bervariasi yang dipengaruhi oleh
besarnya proporsi dalam ransum, bentuk pemberian, metode pengolahan dan jenis
ternak. Ternak yang diberi pakan KBK masih memerlukan pakan tambahan untuk
mencukupi kebutuhan produksi.
Ternak yang diberi KBK segar yang
dicacah (protein kasar sekitar 7%), tepung KBK atau silase KBK perlu diberi
pakan tambahan berupa hijauan atau konsentrat. Dilaporkan bahwa penggunaan KBK
pada domba dan kambing menurunkan konsumsi bahan kering dan menghasilkan
penurunan pertambahan bobot hidup karena adanya antinutrisi theobromine (Alexander
et al. 2008). Sebaliknya hasil pengamatan di lapang menunjukkan bahwa pemberian
KBK segar pada kambing dilaporkan tidak menimbulkan efek yang negatif dan sudah
berlangsung lama. Seperti pernyataan Priyanto et al. (2004) pada sistem
integrasi kakao-kambing di Provinsi Lampung menunjukkan.
Tabel 5. Respon pemanfaatan KBK sebagai pakan terhadap
pertambahan bobot hidup
|
bahwa pemberian kulit
buah kakao segar yang dicacah sebanyak 2-3 kg/hari pada kambing dewasa mampu
menghemat tenaga kerja penyedia hijauan rumput sebesar 50%. Beberapa hasil
penelitian pemanfaatan KBK sebagai pakan pada ternak disajikan pada Tabel
5. Pemanfaatan KBK tanpa diolah
memberikan respon yang relatif baik, namun akan lebih tinggi responnya bila KBK
diberikan setelah diolah.
Pemberian ransum
mengandung KBK fermentasi dalam bentuk tepung tidak berbeda tingkat konsumsinya
karena tidak ada pengaruh terhadap palatabilitasnya (Murni et al. 2012),
sebagaimana pernyataan Devendra & Leng (2011) bahwa jumlah konsumsi ransum
tergantung pada palatabilitas, karakteristik fisik dan defisiensi asam amino
esensial kritis serta protein kasar. Hasil pengolahan KBK dengan starter mikroba
melalui fermentasi menghasilkan kualitas nutrien yang lebih baik terutama kadar
proteinnya sehingga lebih mampu menghasilkan performans yang lebih baik pula
(Suparjo et al. 2011; Murni et al. 2012). Selanjutnya penggunaan KBK dengan
penambahan suplemen dan aditif mampu. meningkatkan performans ternak yang
tercermin dari pertambahan bobot hidup hariannya (Puastuti et al. 2010).
BAB IV
KESIMPULAN
Ketersediaan KBK pada musim panen
sangat banyak dan mampu memenuhi kebutuhan untuk 635.305 satuan ternak.
Besarnya potensi KBK sebagai pakan diperlukan pengolahan dengan tujuan untuk
meningkatkan nilai nutrien dan kecernaan, mengurangi efek negatif dari senyawa
antinutrisi, meningkatkan performans ternak dan memperpanjang masa simpan.
Bermacam-macam pengolahan baik fisik, kimiawi dan mikrobiologis, masing-masing
memiliki kelebihan dan kekurangan. Pemberian pakan yang mengandung KBK pada
ternak memiliki respon yang positif, namun demikian responnya bervariasi
tergantung pada metode pengolahan dan jumlah yang diberikan maupun jenis
ternak. Pemanfaatan KBK sebagai pakan diharapkan dapat dijadikan sebagai stok
bahan pakan dan mengatasi kekurangan pakan hijauan terutama di musim kemarau
dan dapat meningkatkan pengembangan populasi ternak ruminansia khususnya di
sentra perkebunan kakao.
DAFTAR PUSTAKA
Adamafio NA, Ayombil
F, Tano-Debrah K. 2011. Microbial detheobromination of cocoa (Theobroma
cacao) pod husk. Asian J Biochem. 6:200-207.
Adamafio NA. 2013.
Theobromine toxicity and remediation of cocoa by-product: an overview. J Biol
Sci. 13:570-576.
Afrijon. 2011.
Pengaruh pemakaian urea dalam amoniasi kulit buah coklat terhadap kecernaan
bahan kering dan bahan organik secara in-vitro. J Embrio. 4:1-5.
Aji DP, Sri U,
Suparwi. 2013. Fermentasi kulit buah kakao (Theobroma cacao L.)
menggunakan Aspergillus niger pengaruhnya terhadap kadar VFA dan N-NH3
secara in-vitro. J Ilmu Peternakan. 1:774-780.
Alemawor F, Dzogbefia
V, Oddoye E, Oldham J. 2009. Enzyme cocktail for enhancing poultry utilisation
of cocoa pod husk. Sci Res Essay. 4:555-559.
Alexander J, Benford
D, Cockburn A, Cravedi J, Dogliotti E, Domenico A Di, Férnandez-cruz ML, Fürst
P, Fink-gremmels J, Galli CL, et al. 2008.
Theobromine as undesirable
substances in animal feed 1 Scientific opinion of the panel on contaminants in
the food chain adopted on 10 June 2008. EFSA J. 725:1-66.
Awuah RT, Frimpong M.
2003. Cocoa-based media for culturing Phytophthora palmivora (Butl.)
Butl., causal agent of black pod disease of cocoa. Mycopathologia. 155:143-147.
|
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar